Serangkai Asa Untuk Melati

 

Pagi itu agak berbeda dari biasanya. Di dalam rumah suasana begitu sepi meski aku dapat mendengar dengan laju kendaraan yang lewat di pinggiran rel kereta api. Rumahku memang ada di dekat rel kereta api. Beberapa orang kadang memanggilku anak pinggiran kereta api. Aku tak terlalu suka panggilan itu. Tak apa, walaupun begitu mempunyai rumah di dekat rel kereta api juga menyenangkan. Kita bisa mendengar dan melihat kereta api saat dia lewat. Meskipun masih beberapa menit usai shubuh, biasanya jam segini di rumahku sedikit ramai karena komando seseorang. Hanz adik laki-lakiku baru saja keluar kamar mandi. Sedangkan aku baru saja merapikan kamarku. Aku masih saja merasa ada yang kurang. Aha! Aku baru teringat akan satu orang yang kurang dan sangat penting dalam hidupku. Ibu.

“Hanz, dimana ibu?” tanyaku.

“Tidak tahu kak. Dari tadi aku nggak lihat ibu,” jawab Hanz kemudian berlalu dari pandanganku dan kembali menyelesaikan pekerjaannya.

Aku berjalan ke arah kamar ibu dan membuka pintu kamarnya yang tidak terkunci. Kamar ibu gelap. Jendelanya belum dibuka walaupun kondisi lampunya sudah mati. Aku melihat ibu sedang berbaring di kasurnya yang sudah usang dan menutupi tubuhnya dengan selimut. Kemudian aku membuka jendela kamar ibu dan menyibakkan tirainya. Membiarkan udara dan cahaya matahari masuk ke kamar ibu. Sepertinya ibu pulas hingga tidak menyadari aku masuk kamarnya. Aku kemudian mendekati ibu dan memeriksa suhu tubuhnya. Panas.

“Ibu sakit?” tanyaku sambil menempelkan punggung tanganku ke kening ibu. Ibu perlahan ssmembuka matanya dan menatapku sayu. Ia mengangguk pelan.

“Mela, sudah sarapan?” tanya ibu lemah. Aku menggeleng. “maaf ya, ibu belum bisa masak untuk kalian hari ini,” kata ibu.

“Tidak mengapa ibu. Aku kan sudah bisa memasak. Aku akan menggantikan ibu. Aku akan memasak untuk ibu dan Hanz. Pokoknya ibu jangan khawatir ya,” kataku sambil membelai kepala ibu dan menciumnya sebagaimana ia memperlakukanku selama ini.

“Tapi kita nggak punya apa-apa lagi untuk diolah jadi makanan. Kulkas juga sudah rusak,” kata ibu lagi.

“Kita masih punya sisa tempe goreng dan tauco tahu. Biar Melati panasin. Kulkas nanti Melati bersihkan biar dia bisa normal lagi. Kulkas kita kan memang sering ngambek bu, hehehe,” kataku terkekeh. Ibu tersenyum.

“Makasih ya nak,”kata ibu.

“Sama-sama bu. Ibu cepat sembuh ya. Insyaallah nanti Melati akan carikan uang buat beli obat ibu,”

“Jangan mengambil hak orang lain ya nak,” kata ibu mengingatkan.

“Iya bu, tidak akan. Melati akan selalu ingat pesan ibu.”

Aku keluar dari kamar ibu. Hanz keluar dari arah dapur dan berjalan menghampiriku. “Kak, ibu sakit ya?” tanya Hanz. Aku mengiyakan. “Hanz hampiri ibu dulu ya. Oya kak, itu lauk udah Hanz panaskan. Tinggal dimakan aja. Bekal untuk kakak dan Hanz juga sudah Hanz siapkan,” kata Hanz.

“Duh, makasih ya Hanz udah inisiatif sama kerjaan rumah. Tapi nggak curang kan baginya,” godaku sambil memeluknya erat.

“Iya, iya. Tapi lepasin dulu pelukannya. Pengap tahu! Kakak kebanyakan pakai pewangi!” kata Hanz bercanda.

“Yeee..mana ada! Udah deh, kakak nyiapin sarapan untuk ibu dulu ya,” kataku melepaskan pelukanku. Hanz tertawa kecil. Kami kemudian berjalan ke tempat yang di tuju masing-masing.

Aku mengambil makanan untuk ibu dan membuatkannya segelas teh manis hangat. Aku juga menambahkan jeruk nipis untuk punyaku dan Hanz dan memberinya es batu yang hampir meleleh di kulkas kami yang rusak. Aku memang lebih senang mengolahnya menjadi nipis tea daripada teh manis biasa. Semua tergantung selera masing-masing sih.

Aku membawa makanan dan makanan untuk ibu ke kamarnya. Kulihat Hanz masih disana. Ia memberi minyak di kedua betis hingga tumit ibu dan memijatnya. Aku meletakkan makanan dan minuman ibu di dekatnya.

“Ibu,” panggilku sambil membangunkannya. Ibu membuka matanya. “ayo makan dulu. Makanannya sudah Mela siapkan,” kataku.

Ibu menatap makanan yang kuambilkan. “Ibu nggak selera makan, Mela,” kata ibu.

“Iya, karena ibu sakit jadi nggak selera apa-apa. Tapi ibu harus makan dulu biar perutnya nggak kosong,” kataku lembut.

“Iya bu. Nanti kalau ibu sakitnya makin parah, kita mau bawa ke rumah sakit pakai apa dong? Nggak mungkin kan tubuh ibu kita bawa pakai daun pisangnya pak Joko, hahahaha..” kata Hanz sambil tertawa.

Aku menatap Hanz. Aku tahu dia bercanda, namun tidak untuk saat ini. “Hanz,” tegurku.

Hanz langsung menghentikan tawanya. “Iya, iya deh. Aku salah. Maaf ya bu. Jangan diambil hati. Soalnya hati Hanz juga nggak bakalan buat ibu selera makan! Hahaha..dadah kak Melayu!” Usai mengatakan itu Hanz langsung keluar dari kamar ibu. Aku agak cemberut walaupun tertawa mendengar guyonannya. Ia memang suka bercanda. Namun apa maksudnya dengan kak Melayu? Apa karena ibuku orang melayu? Ah, keturunan kan mengikut dari ayah.

Aku kembali fokus pada ibu. Ibu masih belum mau makan. “Makan ya bu?” bujukku lagi padanya. Ibu menggeleng. “atau ibu mau Melati suapin?” tawarku.

“Kamu nggak berangkat sekolah? Kamu bisa terlambat kalau nyuapin ibu. Nggak usah pikirin ibu. Ibu bisa jaga diri ibu sendiri. Kamu sekolah aja,” kata ibu lemas. Aku melihat ke arah jam dinding. Sudah pukul 07:00 WIB. Dan aku tipe orang yang tidak bisa kompromi soal waktu. Hmm, ibu tahu saja kelemahanku..

“Melati nggak akan pergi sekolah sebelum lihat ibu habiskan makanan ibu!” kataku tegas. Aku harus memilih. Dan kesehatan ibu lebih penting dari segalanya.

Awalnya ibu tetap tidak mau. Mungkin ibu ingin melihat kesungguhanku. Namun, lama kelamaan ibu sepertinya luluh. Apalagi setelah mendengar teriakan Hanz yang berulang kali memanggilku untuk berangkat sekolah. “Kak Melati ayo cepat pergi sebelum terlambat! Kakak kira sekolah kita muat untuk jadi landasan helikopter apa!” teriaknya masih diselingi candaan.

“Muat. Sekolah kita kan kayak bandara Polonia!” balasku bercanda.

“Jangan main-main dong. Sekarang itu yang betul namanya bandara International Kuala Namu tahu!” katanya.

“Sejak dulu kakak sudah tahu Hanz. Bentar. Kakak mau nyuapin ibu,” kataku menghampirinya dan menjelaskan.

“Oke, aku tunggu. Cepat ya. Kalau tidak aku tinggal,” sahut Hanz.

“Tinggal aja kalau kamu takut terlambat,” balasku.

Ibu akhirnya mau makan makanan yang sudah kuambilkan untuk ibu. “Pergilah Mela, terimakasih sudah menyiapkan makan minum ibu,” kata ibu. Aku mengangguk.

“Melati pergi dulu bu,” kataku sambil mencium tangan dan pipi ibu. Kemudian aku mengucapkan salam dan pergi. Hanz berdiri di depan pintu rumah sambil berkacak pinggang.

“Lama kali kakak ini! Nanti terlambat kita,” katanya mencak-mencak marah. Aku tertawa melihat aktingnya.

“Kamu pasti belum salam ibu kan? Salam dulu sana!” kataku mengalihkan sambil mengambil tas sekolahku dan menliti kelengkapan isinya.

“Oh iya, lupa!” Hanz menepuk jidatnya. Lalu ia melepaskan sepatunya bututnya dan berlari menuju kamar ibu. Aku menunggu Hanz usai memakai sepatuku.

Kami pergi ke sekolah jalan kaki karena kami tidak punya alat transportasi apapun selain sepeda besar milik ibu dari pemberian almarhumah ibunya nenek ibu. Jarak  ke sekolah cukup jauh. Namun jalan kaki menurutku bukan masalah karena kami sudah terbiasa berjalan kaki sampai ke pusat kota sekalipun. Biasanya aku selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke titi gantung di Lapangan Merdeka ataupun toko buku murah dekat pajak Sambu. Perjalanan ke sekolah selalu diisi dengan cerita-cerita dan candaan agar lebih menyenangkan. Tak jarang kami menyapa orang yang sudah beberapa kali kami kenal di jalan. Keramahan memang menjadi salah satu ciri khas masyarakat Indonseia dan juga sudah mendarah daging dalam diriku. Ayahku meninggal setahun yang lalu karena kecelakaan. Saat itu ia sedang kerja di kantornya di luar negeri dan berencana pulang ke Indonesia untuk menghabiskan jatah berliburnya bersama kami. Namun takdir tidak mengizinkannya bertemu kami. Karena itulah kami tidak pernah diantar ke sekolah oleh ayah. Padahal sebelumnya ayah selalu mengajak kami pergi bersama dengan bersepeda. Kata ayah itu lebih menyehatkan dan mengurangi polusi.

“Eh Hanz, ngomong-ngomong apa sih maksud kamu bilangin kakak Melayu?”

“Tapi janji ya, nggak marah,” kata Hanz santai.

“Hmm..oke deh,” jawabku cepat tanpa pertimbangan.

“Kakak ini gimana sih? Masa gak tahu. Melayu itu melati layu. Melati kan nama bunga, dan bunga bisa jadi layu. Makanya nama kakak Hanz bilang Melati layu. Karena kakak lele..” Sebelum Hanz melanjutkan kata-katanya aku sudah  berkacak pinggang dan memelototinya. “ingat ya, kakak udah janji nggak marah. Janji adalah hutang loh, ingat nggak,” katanya dengan cerdasnya sambil tersenyum nakal.

“Iya, tapi masa kamu tega bilangin kakak kayak gitu!” sungutku.

“Iya deh, maaf ya kak. Aku cuma bercanda. Kan hidup nggak mesti serius-serius aja,” kilah Hanz. Benar juga!

Sekolah kami sudah tampak di depan mata. Aku dan Hanz sama-sama melangkahkan kaki ke kelas masing-masing. Di kelas aku melihat Nina, sahabat sekaligus teman sebangkuku. Aku meletakkan tas ku di kursi dan duduk di sampingnya. Aku menyapanya. Namun Nina menanggapi dengan sedih. Ia hanya menoleh sebentar ke arahku dan kembali melamun menatap ke depannya.

“Nina, ada apa? Kamu terlihat sedih?” tanyaku.

“Tidak ada apa-apa Melati. Aku hanya bosan saja dengan hidupku,” jawab Nina.

Bosan dengan hidup? Aku menatap Nina yang masih melamun dengan wajah murung. Bagaimana mungkin anak konglemerat di depannya ini bisa merasa bosan dengan hidupnya yang penuh kemilau harta kekayaan bergelimpangan dan semua yang dia inginkan dapat dipenuhi.

“Kamu bisa menceritakan masalahmu padaku, mungkin aku dapat membantumu. Apa yang membuatmu bosan hidup? Kamu punya segalanya. Orangtua yang menyayangimu, kakak yang baik dan kehidupan yang serba berkecukupan.”

“Aku nggak yakin deh kamu bisa membantuku, Melati. Tapi aku mau cerita ke kamu tentang masalahku. Jadi begini, entah kenapa aku merasa akhir-akhir ini hidupku rasanya begini-gini saja. Nggak ada yang berubah. Dan aku merasa tidak puas dengan hidupku,” kata Nina.

“Sebelumnya terimakasih karena sudah mau percaya dan menceritakan masalahmu padaku. Eh, boleh nggak ya aku kasih masukan ke kamu?” tawarku semangat.

“Boleh. Apa tuh? Mungkin aku bisa mencobanya,” respon Nina.

“Kalau kamu bosan, coba berdiri dan lakukan sesuatu yang kamu suka. Atau mungkin kamu bisa pergi ke suatu tempat buat intropeksi diri. Apa yang sudah kamu lakukan selama ini. Apa kamu sudah melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk diri kamu kedepannya agar bisa menjadi lebih baik lagi. Bosan biasanya dikarenakan tidak tidak ada tantangan,” kataku.

“Nah, terus apa lagi?” tanya Nina penasaran.

“Kamu bisa melakukan banyak hal lain lagi. Kamu harus bersyukur atas nikmat yang kamu dapatkan selama ini karena mungkin di luar sana atau di sekitar kamu masih banyak orang yang lebih susah dari kamu. Mereka yang tidak kesusahan untuk mendapatkan makan, minum, dan hidup serba kesusahan.”

“Oke, nanti akan aku coba. Terimakasih Melati!” kata Nina.

“Sama-sama. Yang terpenting sekarang kamu nggak boleh sedih lagi, oke?” kataku. Nina mengangguk. Aku jadi teringat jawaban ibu saat aku bertanya kenapa ibu tidak sedih kami serba kekurangan, terutama setelah ditinggal ayah. Aku teringat kata-kata ibu. Benar kata ibu, kebahagiaan yang abadi itu hadir bukan dari dunia dan materi, tetapi hati dan ketenangan.

***

Saat itu aku sedang berada di kantin ketika Juna temanku lari tergopoh-gopoh menghampiriku yang sedang makan bersama Nina. “Lati..kam..hu..dipanggil..kepsek di kantor sekarang juga!” katanya.

Aku dan Nina berpandangan. Ada apa kepala sekolah memanggilku? “Oke, makasih Jun,” kataku.

“Ya, sama-sama,” katanya kemudian pergi.

“Nin, bentar ya. Aku mau ke kantor,” kataku pada Nina sambil menutup kotak bekalku.

“Kenapa tiba-tiba dipanggil kepala sekolah? Kamu ada buat apa?” Nina balik bertanya.

“Aku juga nggak tahu ada urusan apa. Udah ya Nin, tolong jagain bekalku ya,” kataku langsung meninggalkan Nina. Nina pun terlihat cuek dan kembali fokus pada makanannya.

“Melati, tolong bilang sama ibu kamu agar jangan lupa membayar uang iuran sekolah kamu dan Hanz. Ini sudah hampir setengah bulan belum dibayar,” kata kepala sekolah di inti pembicaraan.

Aku malu sekali. “Iya pak. Keuangan kami memang sedang tidak ada saat ini, tapi Melati akan segera mencari uang untuk pembayaran sekolah,” kataku di depan kepala sekola dengan optimis dan berusaha meyakinkan hatiku saat itu bahwa aku bisa.

“Loh, bukan. Katakan saja pada ibu kamu. Bapak bukan suruh kamu yang bayar,” kata kepala sekolah itu lagi.

“Ibu saya sedang sakit dan kami sedang tidak punya uang pak. Tidak mungkin saya membebani pikiran ibu saya lagi. Biarkan saja ini menjadi pembicaraan antara kita dan ibu saya tidak usah tahu,” jawabku.

“Wah, wah, dewasa sekali sikap dan jawaban kamu. Baik, bapak tunggu ya,” kata kepala sekolah.

Aku nggak butuh pujian dan penantian pak, tapi pelunasan. Batinku bercanda.  “Baik pak,” jawabku sambil tersenyum dan keluar dari kantor. Benar juga kata Hanz, tertawa, tersenyum dan bercanda kadang bisa menjadi obat saat ada kita ada masalah.

Aku langsung kembali ke kantin dan mendapati Nina masih asyik makan bekal makanannya. Ia tampak tidak berminat mencampuri urusanku. Mungkin karena dia juga banyak urusan. Aku pun tidak terlalu mau orang lain tahu.

“Sudah selesai?” hanya itu saja yang ditanyakan Nina padaku. Aku mengiyakan. Sedikit curiga kenapa dia tidak bertanya alasan kepala sekolah memanggilku.

Sambil makan, aku terus memikirkan bagaimana caranya aku mendapatkan uang untuk membayar iuran sekolah. Aku membuat beberapa opsi pilihan kerja yang dapat kulakukan saat ini. “Ti, salah masuk tuh makanannya,” tegur Nina saat aku ternyata nyaris salah memasukkan suapan makananku. Akhirnya nasi goreng yang kumakan mengenai pipiku bersama dengan cabainya.

“Aduh,” refleks aku mengaduh dan menyeka kotoran di pipiku dengan jemari.

“Jangan pakai tangan. Tangan kamu bisa kotor. Pakai tisu aja,” kata Nina sambil menyodorkan tisu miliknya.

“Terimakasih Nin,” kataku menerima sodoran tisu Nina dan mengelapnya ke pipiku yang terasa pedas, juga tanganku.

“Sama-sama,” balasnya sambil tertawa. “lagian kamu lagi mikirin apa sih, sampai nggak sadar kalau lagi makan. Ada masalah sepertiku ya?” tebak Nina.

“Ah, enggak. Bukan apa-apa,” kataku cepat.

“Yakin nih?” selidik Nina. Aku mengangguk, berusaha meyakinkan Nina. Akhirnya Nina mengangguk percaya.

***

Aku menceritakan tentang percakapanku dan kepala sekolah pada Hanz sambil berjalan pulang ke rumah. “Kakak rasa kita harus bantu ibu Hanz. Kita harus cari tambahan uang. Apalagi sekarang semua kebutuhan ekonomi naik,” kataku dengan serius di akhir cerita.

“Memang benar itu kak. Kakak harus kerja, biar aku saja yang nikmati uangnya, hehe..” canda Hanz.

“Hanz, aku tahu bercanda boleh. Tapi saat ini kakak sedang serius dan butuh pendapat kamu selaku saudara laki-laki kakak,” kataku.

“Iya deh..kakak jualan saja. Kakak kan pandai merajut. Nah, kakak bisa membuat berbagai macam barang kerajinan tangan hasil rajutan kakak,” kata Hanz cepat.

“Benar juga ya,” kataku berfikir sejenak. “tidak kusangka ternyata adikku sangat pintar.”

“Aku kan memang pintar,” Hanz membusungkan dadanya dengan bangga. Aku menyengir melihatnya. “nah, kakak bisa mengandalkan ponsel ibu untuk jualan di media sosial atau aplikasi belanja kak. Zaman semakin susah, tapi jalan juga harus mudah,” katanya lagi.

“Terus, kamu mau ikutan bantu juga nggak?” tanyaku.

“Tentu saja aku mau. Tapi kakak nggak boleh tahu sekarang.”

“Terserah kamu deh,” kataku menanggapi dengan malas.

Perjuangan untuk memulai bisnis yang baru dirintis memang tidak mudah. Apalagi jika kita mengharapkan pencapaian maksimal yang pesat. Semua itu tidak akan terjadi. Apalagi jika tidak dibarengi dengan kesungguhan dan ketekunan. Namun aku terus menekuni dan semangat menjual daganganku. Aku tidak peduli sesedikit apa keuntungan yang kudapat, yang penting daganganku laris di pasaran. Karena itu aku juga mencari barang yang bisa laku keras di pasaran.

Kalau untuk urusan berdagang, aku selalu memperhatikan orang-orang China dalam berdagang. Aku memang sangat salut terhadap orang China. Hampir seluruh produk yang digunakan orang merupakan buatan China. Pasar mereka ada dimana-mana. Bahkan hingga ke Timur Tengah sana, dan mereka juga berhasil menguasai perdagangan disana. Almarhum ayahku pernah berkunjung ke Tunisia dan membawa cenderamata serta oleh-oleh khas disana. Saat kulihat, cenderamata itu kebanyakan produk China. Aku geleng-geleng kepala saat melihat hal itu. Di Mesir, produk dan perdagangan pun sudah dikuasai dan didatangkan dari China, sehingga orang Mesir sering berceloteh.

“Kullu hagga bi Shien! Semuanya berasal dari China!”

Pun saat kebijakan ekonomi pemerintah Mesir semenjak presiden Gamal Abdul Nasser yang melarang investor Tiongkok menguasai ekonomi di Timur Tengah, Tiongkok tetap saja mengembangkan bisnis mereka dengan cara menjual barang secara asongan, dengan mengirimkan para pedagang mereka yang menjajakan barang dagangan. China memang selalu menjadi pedomanku dalam hal bisnis. Aku selalu berfikir, kenapa orang-orang pribumi tidak mencoba belajar saja dari orang-orang China dan beelajar untuk memakai produk lokal? Selain untuk membantu pedagang lokal, mereka juga turut membantu ekonomi masyarakat. Di tempatku sendiri, masih banyak para pengguna produk luar negeri dengan alasan kualitas produk lokal tidak sama dibandingkan produk luar negeri. Hal ini sepatutnya menjadi pelajaran buat para produsen untuk meningkatkan kualitas produknya. Rata-rata brand produk lokal yang berhasil hingga keluar negeri dikembangkan oleh orang China-Indonesia. Hal ini juga tidak lepas tangan dari kelihaian mereka dalam berdagang.

Beberapa minggu kemudian..

“Pak, maaf ya saya telat bayar lagi. Tapi saya sudah bertekad. Dan ini semua uang saya. Pas untuk bayar iuran saya dan adik saya beberapa bulan ini,” kataku suatu hari saat sudah mendapatkan uang yang cukup dari hasil jualan rajutanku dan robot Hanz. Aku menyerahkan uang yang sudah disusun itu kepada kepala sekolah

Kepala sekolah tampak tersenyum. “Luar biasa usaha kamu dan adik kamu, Melati. Saya sudah mendengar semuanya dari ibu kalian dan orang-orang terdekat kalian. Saya salut dengan semua ini. Tapi saya mau memberitahu kamu sebelumnya bahwa sebenarnya orangtua Nina telah membayarkan uang iuran sekolah untuk kamu dan adik kamu selama kalian sekolah disini. Orangtua Nina sudah bicara pada saya dan kalau kamu mau tahu alasannya, tanya saja pada Nina. Kedua orangtua Nina juga sedang membicarakan tentang tawaran mereka kepada ibumu di rumah kalian.”

Aku terdiam. Seperti tidak percaya rasanya dengan apa yang baru saja kudengar. Nina? Bagaimana dia bisa tahu tentang hal ini? Aku menatap kepala sekolah. Ingin cepat-cepat menyelesaikan pertemuan ini dan menemui Nina. “Kalau begitu, terimakasih banyak pak. Saya kembali dulu ke kelas,”

“Silahkan, dan ambillah kembali uang kalian. Kalian memang hebat,” puji kepala sekolah lagi. Aku mengucapkan terimakasih dan langsung melesat pergi meninggalkan kantor.

“Nina! Nina!” aku berseru mencari-cari Nina.

Kulihat Nina tampak tersenyum di taman sambil menungguku. Sepertinya ia sudah tahu. “Jelaskan padaku semuanya, Nin. Bagaimana kamu bisa tahu?” tanyaku penasaran.

“Hehehe, sebelumnya maaf ya. Aku sengaja bersikap tak acuh saat itu karena aku ingin menyelidikinya tanpa kamu tahu. Sebenarnya aku sudah tahu kalau kamu sedang ada masalah keluarga dari ekspresimu. Aku kagum sama kamu dan adik kamu. Kalian sangat akur walau sesulit apapun masalah kalian. Sedangkan aku dan kakakku selalu bertengkar. Aku iri loh jika melihat saudara yang bisa saling melengkapi seperti itu. Aku sudah menjalankan nasihat kamu dan nyatanya apa yang kamu katakan benar juga. Akhirnya aku menceritakan semuanya kepada orangtuaku termasuk keadaanku dan nasihatmu. Jadi anggap saja semua itu hadiah dariku karena kamu telah menyelamatkanku dari depresi. Haha..aku hampir stres soalnya waktu itu,” jelas Nina tersenyum senang. Aku jadi senang mendengarnya.

“Ah, kamu ini bisa aja. Aku sama adikku juga sering bertengkar kok walaupun kami tidak membiarkan diri kami larut bertengkar. Terima kasih banyak Nina!” Tidak kuat menahan rasa bahagia dan terima kasih, aku memeluk Nina senang. Nina membalas pelukanku.

“Semoga kamu suka dengan pemberianku ini ya Melati. Terimakasih atas inspirasi dan nasihatmu. Teruslah menjadi seperti namamu. Yang menjadi salah satu bunga puspa bangsa. Kau juga harus mengharumkan negeri ini dengan kata-katamu,” balas Nina menasihatiku.

“Iya Nina, terimakasih atas nasihatnya.”

Ada kalanya kita tidak tahu respon apa yang akan terjadi karena perbuatan kita. Bisa jadi itu membawa kita pada keburukan dan bisa pula kebaikan. Seperti kata pepatah, mulutmu harimaumu. Dan kita juga tahu bahwa celah lidah ada banyak, karena itu kita harus berhati-hati. Jangan sampai apa yang kita lakukan merugikan diri kita sendiri dan orang lain. Dan kita juga tahu sekecil apapun yang kita lakukan walaupun masih dalam hati, tetap akan dicatat. Sampaikanlah kebenaran sepahit apapun walaupun dunia mengecammu. Karena pada dasarnya masih banyak orang dengan hati bersih yang dapat menerima dan membela kebenaran yang kita katakan. Teruslah menebar inspirasi untuk semua orang. Sampaikanlah kebenaran kepada siapapun walaupun ia lebih kuat dan berkuasa darimu. Sebab kebenaran tidak memandang siapapun untuk melakukan hal yang benar dan kebatilan tidak memandang siapapun untuk berbuat batil.

Komentar

  1. Ini tulisan yang belum sempat aunty baca di WA ya?
    Hiks maaf ya belum sempat karena ngejar percepatan sensus. Oh ya, na ceritanya bagus
    Ini masih ngetik di hape juga?
    Pake laptop aja biar matanya gak sakit. Pas upload baru pindahin ke HP.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    2. Nggak ty, yang Yumna kirim itu tentang oelecpele seksual

      Hapus
  2. Cerita yang bagus Na.
    Kemunculan tokoh2nya juga cukup proporsional. Baik2 semua gak ada yg julid lagi. Haha.
    Ditunggu kisah2 lainnya ya.

    BalasHapus
  3. Tulisannya bagus banget, kalau lagi ada waktu santai baca tulisan yang begini bikin mood jadi bagus. Dari tokoh dan isi cerita juga dapat.

    BalasHapus
  4. ya allah na,, ga cocok ini ditulis di sini haha, kebagusan haha, ada baiknya jadi ebook, nanti kamu pelan2 susun ya na, biar jadi passive income juga hehe. semangat belajar ya na.

    BalasHapus
  5. Yumna... makin bagus aja cerita yang Yumna buat. Tetap semangat biar jadi buku. Kumpulin sampe 50 cerita kayak gini, insyaAllah udah bisa digabung dan disodorin ke penerbit.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Haru di Hari Sabtu

Pentingnya Mengedukasi Remaja Tentang Kesehatan Mental

Teori Big Bang dan Kebenaran Al-Qur'an