Lukisan Senja

 


“Eh, apa kalian sudah tahu kabar terbaru tentang Pak Zass?” samar-samar aku mendengar suara seorang wanita. Aku penasaran saat mendengar nama ayahku disebut. Maka aku diam-diam menguping pembicaraan itu. Saat itu aku sedang menunggu adikku membeli roti di toko roti dekat rumah.

“Hah? Pak Zass suami bu Aya?” 

“Iya. Kabarnya dia sudah bercerai sekarang.”

"Loh, baru tahu? Dia kan memang sudah lama bercerai.."

Deg!

Seketika jantungku berdetak kencang tak beraturan. Aku sangat terkejut mendengarnya. Ayah dan ibu sebenarnya sudah bercerai sejak lama? Kenapa aku tidak diberi tahu? Padahal selama ini aku melihat hubungan mereka baik-baik saja dan tidak ada masalah. Apa yang mereka sembunyikan dariku selama ini? Kenapa mereka bercerai? Apakah kabar ini benar, atau hanya rumor semata.

Ribuan pertanyaan menghantui pikiranku. Aku tidak terima jika ayah dan ibu bercerai. Ibu harus menjelaskan kepadaku tentang perceraian ini. Masih dengan rasa gugup aku menyelesaikan transaksi di kasir. 

Usai membayar roti yang dibeli adikku, aku langsung pulang bersamanya. Sambil terus mengayuh sepedaku, pikiranku masih dipenuhi gosip tetanggaku. Karena melamun, aku bahkan hampir tertabrak mobil. Aku kesal saat pengemudi mobil itu mencaciku. Baiklah, aku akan menunggu sampai ibu pulang kerja. 

***

"Apa benar rumor bahwa ibu dan ayah bercerai?" tanyaku hati-hati di kamar ibu saat ibu sudah pulang kerja. Saat itu Jem sedang tidur siang di kamarnya. Aku tidak ingin dia mendengar pembicaraan yang tidak cocok untuk anak seusianya.

Ibu menatapku dengan tenang. “Kamu tahu darimana, sayang?” ibu balik bertanya.

“Dari mulut tetangga-tetangga kita. Apa itu benar, ibu?” tanyaku tidak sabar. 

Ibu tersenyum tipis. "Ibu akan memberitahu Gilly. Tapi tidak sekarang, Sayang," kata ibu.

"Kenapa ibu? Kenapa tidak sekarang?" kataku tak sabar.

"Belum waktunya, Sayang. Ibu akan memberitahumu. Ibu janji. Tapi ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan masalah itu sekarang. Kita akan pegi keluar nanti malam. Jika kau ingin tahu, kau harus sabar menunggu. Mengerti?" ucap ibu sambil mendekatkan wajahnya dan membelai rambutku. Aku menghela nafas. Kesal.

Usai azan maghrib berkumandang, ibu menyuruh kami bersiap-siap untuk pergi setelah selesai shalat. "Kita mau kemana, Bu?" tanya adikku Jem.

"Ibu mau mengajak Jem ke rumah nenek," jawab Ibu.

Mendengar rumah nenek, Jem bersorak kegirangan. "Horee!! Nanti aku boleh menginap di rumah nenek, kan Bu?" tanya Jem adikku.

Ibu tersenyum. "Nanti kita tanya Nenek, ya," jawab Ibu. Jem mengangguk dan bersiap-siap, begitu juga denganku. 

Rumah nenek adalah tempat favorit untuk berlibur. Karena rumah nenek sangat luas dan memiliki aneka ragam permainan. Di rumah nenek juga banyak bermacam tanaman dan bunga. Suasana di rumah nenek masih asri seperti di desa. Nenek mendirikan sebuah pondok belajar di depan rumahnya. Ia akan mengajar anak-anak di lingkungan sana dengan bantuan tante Nani, adik ayah. Saat anak-anak sedang belajar, nenek akan menyuruh kami bergabung dan belajar disana. 

Biasanya ayah akan menemui kami di rumah nenek untuk mengajak aku dan adikku pergi bertiga bersama ayah. Kami menyebutnya waktu khusus bersama ayah, karena kami juga punya waktu khusus bersama ibu. Namun saat ini ayah sedang keluar kota untuk mengurus perusahaannya.

"Are you ready?" tanya ibu beberapa menit usai kami selesai shalat.

"Ya!" jawab kami semangat. 

Ibu kemudian pergi ke garasi rumah dan menyalakan mesin mobilnya. Aku dan Jem mengambil tas kami dan duduk di kursi tengah. Jem membawa beberapa robot buatannya di tas untuk dimainkan di rumah nenek. Sementara ibu menyarankanku untuk tidak terlalu membawa banyak barang karena ibu akan membawaku ke tempat lain. Akhirnya aku membawa beberapa buku cerita yang baru saja kubeli untuk kukonsumsi. Karena tas selempengku cukup besar, aku bisa membawa beberapa buku. Mobil melaju meninggalkan rumah kami. Sepanjang jalan aku mulai membaca satu-persatu buku ceritaku. Ibu memantau kami dari kaca mobil.

“Gilly, jika kau membaca disaat gelap, itu bisa merusak matamu. Penerangan lampu mobil tidak cukup untuk membaca,” kata ibu memperingatkanku.

Aku mengerti maksud Ibu.“Baik Bu,” kataku dengan berat memasukkan kembali buku-bukuku kedalam tas.

Beberapa menit kemudian kami tiba di rumah nenek. Saat itu nenek sedang mengajar anak-anak disekitarnya mengaji. “Nenek!!” seru kami saat turun dari mobil. Kami berlari menghampiri nenek dan memeluk tubuh renta ibu dari ayahku itu.

Nenek membalas pelukan kami. Aku kemudian menyalami punggung tangan tante Nani yang sedang mengajar disamping nenek.

“Ayo sini gabung belajar, Jem, Gilly,” kata tante Nani. 

“Baik Tante,” balas kami. Kami langsung bergabung dalam lingkaran kelompok.

Usai mengunci mobilnya, ibu menghampiri kami dan ikut bergabung di pondok belajar nenek. Ibu menyalami dan mencium punggung tangan nenek dengan takzim. Nenek menyambut ibu dengan hangat. Kemudian ibu bersalaman dengan tante Nani. 

Ibu dan tante Nani berbicara sebentar. Kemudian ibu menghampiri nenek lagi dan terlihat berbincang dengan nenek. Kulihat nenek mengangguk beberapa kali.

“Kemarilah Gilly,” kata nenek padaku. Aku mengangguk dan menghampiri nenek dan ibu.

“Ada apa Nek?” tanyaku saat sudah berada di dekat nenek.

"Sini peluk nenek cucu besar," kata nenek merentangkan kedua tangannya lalu mencium dan meremas rambutku.

"Aduh, nenek membuat rambutku acak-acakan."

"Itulah mengapa kau sudah besar. Padahal pelukan seperti ini yang selalu kau suka dari nenek saat kau belum setinggi ini."

“Gilly, ayo pergi bersama Ibu,” kata ibu padaku.

“Kemana Bu?” tanyaku.

“Kita mau beli makan malam untuk nenek dan tante,” jawab ibu.

Ibu mendekati Jem. 

“Jem disini dulu ya, biar ibu dan kak Gilly yang pergi beli makanannya,” kata ibu pada Jem. Jem mengangguk-angguk.

"Ayo, Jem. Kita bermain." Ajak nenek dan tante Nani pada Jem.

Ibu dan aku langsung naik mobil. Sepanjang jalan aku hanya diam. Aku sedikit kesal pada ibu karena tidak langsung menjawab pertanyaanku. 

“Bagaimana harimu di sekolah, Gilly? Apa menyenangkan?” tanya ibu sambil terus menyetir. 

“Biasa saja,” jawabku datar.

“Kelihatannya kau masih kesal? Apa karena pertanyaanmu tadi siang?” tanya ibu dengan lebih lembut. Aku menyedekapkan tanganku dan membiarkan pertanyaan ibu mengambang tanpa jawaban. “Baiklah, sepertinya kau perlu waktu untuk memendam kekesalanmu,” kata ibu lagi. 

Beberapa saat kemudian ibu memberhentikan mobilnya di sebuah restaurant. Aku mengikuti ibu turun dari mobil. Ia menggamit tanganku masuk kedalam restaurant dan duduk di sebuah kursi. 

"Kamu mau pesan makanan apa, Gilly?" tanya ibu usai meminta buku menu pada seorang pelayan. Aku melihat-lihat sebentar dan memesan makananku. Ibu juga memesan makanan dan minuman. Setelah pelayan restoran itu pergi, ibu menatapku tenang sambil tersenyum tipis.

"Sambil menunggu pesanan datang, apa kau bersedia kita bicarakan sekarang terkait pertanyaanmu tadi siang Gilly," kata ibu.

“Bisa ibu,” jawabku. Kekesalanku mulai berkurang.

"Ibu tahu bagaimana tidak nyamannya dirimu saat tetangga membicarakan tentang ayah dan ibu. Tapi yang dikatakan mereka memang benar, sayang. Ayah dan ibu sudah lama bercerai," kata ibu lembut.

Aku sangat terkejut. Aku tidak percaya dengan apa yang barusan kudengar. Aku berharap bisa mengulang waktuku kembali dan tidak akan pernah berhadapan dengan saat seperti ini. Aku menggigit bibirku. Mimpi buruk yang selama ini kubuang jauh-jauh sekarang malah  menjadi kenyataan. Aku melihat wajah ibu yang menatapku penuh arti. 

"Tapi sejak kapan Bu?" Tanyaku

Adalah wajar pertanyaan yang menggelayut di pikiranku. Aku tak pernah merasa ada perubahan baik dari ayah maupun ibu. Rasanya sukar kupercaya kenyataan perceraian keduanya.

"Lima tahun yang lalu. Persis saat ayah tinggal di luar kota mengurus perusahaannya..

Semenjak itu pertemuan kita dengan ayah hanya di rumah nenek," lanjut Ibu tenang. 

Bodohnya aku yang tak sadar bahwa ada yang berubah saat itu. Awalnya aku sempat bertanya dalam hati kecilku kenapa ayah tidak pernah lagi pulang ke rumah. Kufikir Ayah hanya pulang bertemu kami di rumah nenek supaya ia bisa mengefisienkan waktu bersama kami sekaligus mengunjungi ibunya.

"Kalian pandai membohongi aku dan Jem," teriakku pelan.

Aku membuang wajahku dari pandangan ibu. Tiba-tiba aku merasa sangat marah pada ayah dan ibuku. Aku merasa sangat membenci mereka. Ingin rasanya aku memuntahkan amarahku di saat ini juga. Namun, aku tahu hal itu sangat tidak beretika dan mengganggu ketenangan umum. Urusan keluarga bukan urusan publik, prinsipku selalu. 

Aku menahan diri untuk tidak menangis. Aku harus bisa mengontrol emosiku saat ini. Aku harus tegar dihadapan ibu. Aku tidak ingin ia memelukku saat tahu aku terluka. "Kenapa ayah dan ibu bercerai?" tanyaku perlahan.

"Ada banyak hal yang terjadi saat kau dan Jem masih kecil. Ibu dan ayah tidak bisa mempertahankan hubungan kami sebagai suami istri. Tidak untuk saat itu," jawab ibu. 

“Kenapa? Kenapa ibu tidak bisa bertahan!” kataku marah.

“Bisa jadi sesuatu yang kita benci ternyata baik untuk kita, Gilly. Ayah dan ibu tidak bisa mempertahankannya karena suatu hal. Jika kau sudah lebih besar dari sekarang, kau pasti bisa mengerti keadaan ayah dan ibu saat itu.”

“Tapi perceraian menunjukkan bahwa ibu tidak bisa membangun rumah tangga dengan baik,” dalihku.

“Pemikiran seperti itu belum tentu benar, Sayang. Ada kalanya sebuah hubungan tidak bisa dipaksa untuk terus berdiri,” balas ibu. 

"Bukankah perceraian adalah perkara yang dibenci Allah?" cecarku.

"Kau benar tapi perceraian juga dibolehkan," kata ibu.

“Apakah berarti hubunganku dengan ayah dan keluarga ayah juga terputus?” tanyaku lagi.

“Tidak, Gilly. Lima tahun ini hubunganmu dengan keluarga ayah baik-baik saja, bukan? Perceraian hanya memutuskan status suami istri dan kewajiban yang sebelumnya diwajibkan. Ayah tetaplah ayah kalian, dan ibu tetaplah ibu kalian meski kami sudah berpisah. Ibu tidak membatasi dan melarang kalian jika ingin berjumpa dan tinggal bersama ayah. Meskipun ayah dan ibu bercerai, bukan berarti kita juga memutuskan tali silaturahim terhadap keluarga ayah. Kamu lihat ibu, kan? Bagaimana ibu tetap menjalin hubungan baik dengan ibu dari ayah dan saudara-saudara ayah. Perceraian tidak semerta-merta membuat kita harus membenci salah satu pihak.”

“Kenapa ibu baru memberitahuku sekarang?”

“Karena saat ini kau sudah baligh. Kau sudah dewasa dalam pandangan agama. Kau sudah mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk. Karena Jem masih terlalu kecil untuk tahu hal ini, ibu minta kau merahasiakannya padanya. Semua akan terbongkar saat sudah masanya, sayang,” jawab ibu lagi. Ibu masih menatapku dan menunggu jawabanku.

“Baik ibu,” kataku mengangguk. 

Sejatinya aku tidak bisa melaksanakan pesan ibu dengan baik. Aku masih tetap tidak bisa melupakan status bahwa ayah dan ibuku bercerai. Aku masih mempunyai sisa-sisa kemarahanku pada ayah. Kenapa ayah tidak menguatkan ibu dan mempertahankan hubungan mereka? 

Suatu hari ayahku video call dengan kami. Adikku dengan riangnya terus menelpon ayahku dan bercerita mengenai hari-harinya. Aku membiarkan adikku menelpon ayah. Toh aku sedang tidak ingin melihat ayah lagi. Walaupun ibu memaksaku untuk menelpon ayah walaupun sebentar saja. 

“Gilly, apa kau sedang ada masalah?” tanya ibu padaku di kamar saat Jem sedang menelpon ayah di kamarnya. Aku menggeleng kuat. “kenapa kau tidak mau menelpon ayah?”

“Aku sedang tidak mau, bu. Itu saja.”

“Apa pembicaraan kita semalam mempengaruhi sikapmu hari ini pada ayah?” ibu kembali bertanya. Aku mengelak. Namun bukan ibu namanya jika langsung percaya. Ibu menghadapkan wajahnya tepat di wajahku. “Ibu pernah berkata padamu kan bahwa perceraian ayah dan ibu hanya memutuskan status kami sebagai suami istri. Bukan berarti kalian harus saling membenci salah satu pihak. Ayah bekerja banting tulang untuk menafkahi kalian. Meskipun sudah bercerai, ayah tetap menjalankan tugasnya sebagai ayah yang baik. Ia tetap memberikan kalian nafkah,  mengajak kalian pergi, membelikan semua kebutuhan kalian dan lainnya. Kau tidak boleh membenci ayah hanya karena ini. Besok ayah akan pulang dan berencana mengajak kau pergi bersamanya. Siapkan pakaian terbaikmu untuk pergi bersama ayah. Dan jangan lupa untuk minta maaf pada ayah. Walau bagaimanapun, ia tetaplah ayahmu yang telah berjuang untukmu,” kata ibu membelaiku.

“Tapi bu..” aku hendak protes.

Ibu meletakkan telunjuknya di bibirku. “Pikirkan kata-kata ibu, sayang,” kata ibu. Aku diam.


***

“Gilly, kamu kenapa? Akhir-akhir ini kulihat kamu tidak bersemangat?” suatu hari Reema sahabatku di kelas bertanya.

“Aku baik-baik saja Reem,” jawabku.

“Apa kau ada masalah dengan keluargamu?” tanya Reema hati-hati.

Aku terkejut dan menatap Reema tajam. Reema terlihat sungkan. “Apa maksud perkataanmu? Memangnya ada apa dengan keluargaku memangnya?” tanyaku dengan nada tidak suka.

“Maaf, aku tidak bermaksud mencampuri urusanmu. Aku hanya mencoba menerka. Karena kau kelihatan tidak bergairah,” jawab Reema. 

Aku menatap Reema. Dia memang terlihat tulus tanpa maksud lain. Karena itu aku senang berteman dengannya. Saat jam istirahat tiba, Reema mengajakku makan bersama. Aku mengikutinya ke bangku taman. Ini adalah tempat favorit bagi kami. 

"Maafkan sikapku padamu tadi Reema," kataku mengawali pembicaraan kami. 

"Tidak mengapa Gilly. Terus terang sikapmu tadi mengingatkanku pada aku yang dulu saat pertama kali tahu ayah dan ibuku bercerai." jawab Reema. lalu Rema bercerita panjang lebar tentang keluarganya.

Dari ceritanya aku mengetahui bahwa Reema tinggal bersama ibu dan ayah tirinya. Ibu Reema menikah lagi karena ibu dan ayahnya bercerai. “Reema, apa kau menyayangi ayah tirimu?”

“Ya, aku menyayangi ayah tiriku walaupun ia bukan ayah kandungku,” jawab Reema.

“Apa kau tidak merasa kasih sayang ayahmu berbeda dengan anak kandungnya sendiri?” tanyaku lagi.

“Alhamdulillah ayah tiriku tidak begitu. Ayah tiriku baik dan adil kepada aku dan saudara-saudara tiriku.”

“Apa dulu saat ibumu menikah, kau langsung menerimanya menjadi ayah sambungmu?”

Reema tampak berfikir sejenak sambil bernostalgia. “Ibu memberi pemahaman kepadaku tentang ayah sambungku. Sebelum menikah lagi ibu beberapa kali mengenalkanku pada ayah tiriku dan anak-anaknya. Aku beberapa kali datang ke rumah ayah tiriku. Saat ingin menikah lagi, ibu menanyakan pendapatnya padaku karena saat itu aku dinilai sudah cukup dewasa. Aku awalnya menolak. Kau tahukan, aku masih terbayang-bayang cerita ibu tiri Cinderella. Namun, lama kelamaan aku mulai menerimanya sebagai ayah tiriku setelah kulihat aku diterima dengan baik olehnya dan saudara tiriku,” kisah Reema.

“Bagaimana dengan ayah kandungmu? Apa ayah tirimu melarangmu berhubungan dengan ayah kandungmu?”

“Sebaliknya Gilly. Ayah tiriku selalu mengingatkanku untuk terus berhubungan baik dengan ayah kandungku. Karena kadang aku suka berfikiran negatif tentang ayah kandungku. Ayah tiriku bahkan tak jarang mengantarkanku ke rumah ayahku. Hubungan ayah kandungku dengan ayah tiriku juga baik, mereka seperti seorang saudara. Aku senang melihatnya. 

Kalau boleh tahu Gilly, apa orangtuamu bercerai?” tanya Reema hati-hati di akhir ceritanya.

“iya Reena. Aku baru mengetahui fakta bahwa orangtuaku sudah bercerai sejak lana,” jawabku. Reema tampak terkejut.

“Oh, aku turut sedih mendengarnya. Semoga kau sabar ya, Gilly,” kata Reema merangkul bahuku.

“Aku marah pada orangtuaku, Reem. Aku masih tidak bisa menerima kenyataan kalau mereka bercerai. Aku tidak sesabar kamu yang bisa menerima takdir hidupmu!” seruku marah.

“Aku tahu perasaanmu. Kau pasti sangat terluka dan tidak bisa langsung menerimanya untuk saat-saat pertama mengetahui kenyataannya. Aku juga merasakan hal yang sama denganmu, Gilly.

Perceraian orangtua bagi anak-anak adalah suatu hal yang menakutkan. Bahkan tak jarang menghancurkan kepercayaan diri dan anggapan bahwa dunia kita seolah ikut hancur. 

Tapi kau tidak boleh egois, Gilly. Situasi yang mereka hadapi pasti juga sangat sulit sehingga mereka tidak punya pilihan lain selain berpisah,” kata Reema.

“Kau mengatakan hal yang sama seperti ibuku,” komentarku.

“Maafkan aku jika kau tersinggung.”

“Tidak apa. Ceritalah Reema, aku ingin mendengar pengalamanmu,” pintaku.

“Menurutku, kau tidak seharusnya menyalahkan salah satu pihak karena masalah pribadi mereka. Bukannya ayahmu tetap bersikap baik padamu?”

“Kau benar, Reem. Tapi bukan hal yang mudah melupakan semua ini.”

“Bagaimanapun dia adalah ayahmu. Ayah kandungmu. Kau memiliki kewajiban untuk berbuat baik kepadanya. Perceraian adalah sebuah sebuah situasi dan pilihan. Sama halnya dengan bagaimana kita menyikapi situasi perceraian. Tidak ada kehidupan yang hancur kecuali bila kita ikut memilihnya,” nasihat Reema.

“Terimakasih Reem,” balasku sambil memeluknya erat.

***

Sebuah mobil hitam besar yang kukenal berhenti di parkiran sekolah. Seorang pria gagah keluar dari mobil dengan menggandeng tangan adikku. Itu adalah ayah. Jem melambai-lambai ke arahku sambil memanggil-manggilku berulang kali. Aku berjalan ke arah mereka.

“Hai Gilly Sayang,” sapa ayah.

“Hai ayah,” balasku singkat sambil mencium punggung tangan ayah.

“Setelah mengantar Jem bersama ibu, ayah akan mengajakmu pergi berdua bersama ayah ke suatu tempat. Ayah sudah bilang pada ibu, dan ibu mengizinkan. Kau mau kan?” kata ayah.  Aku ingin menolak tawaran ayah. Namun ibu pasti akan menyuruhku untuk tetap ikut. Baik, untuk sesaat, lupakan apa yang telah terjadi.

“Jem tidak ikut?” timbrung Jem.

“Hari ini ibu akan membawa Jem pergi. Besok ayah akan membawa Jem pergi berdua tanpa kakak. Hari ini giliran kakak dulu,” kata ayah memberi penjelasan.

“Ooh, begitu. Baik, terimakasih ayah,” kata Jem senang.

Usai mengantar Jem ke rumah dan berganti pakaian, ayah langsung tancap gas ke suatu tempat tanpa mengatakan apapun padaku. Sepanjang jalan aku hanya diam sambil memotret-motret jalanan yang kulalui. Sesekali ayah bertanya mengenai keseharianku. Kemudian ayah memarkirkan mobilnya di lapangan merdeka di depan stasiun kota. Di dalam lapangan merdeka ada titi gantung. Dari dulu sampai sekarang tempat ini menjual banyak buku bekas yang masih layak dengan harga murah. Aku sangat senang mencari buku di tempat ini karena harganya yang murah membuatku bisa memilih banyak buku. Ayah membolehkanku mengambil buku yang kuinginkan. Usai membeli buku, ayah mengajakku masuk ke sebuah restorant di tepi lapangan merdeka. Ayah ternyata telah memesan sebuah ruangan tertutup di restaurant itu. Kami memesan makanan dan minum.

“Ibu cerita bahwa kau mengetahui kebenaran antara ayah dan ibu.” kata ayah memulai pembicaraan sambil menatap wajahku persis seperti yang dilakukan ibu saat bicara padaku. Aku diam. Namun kubenarkan dalam hati.

"Maafkan ayah. Harusnya kau mengetahui hal itu dari ayah langsung bukan dari orang lain."

“Gilly, apakah kau tahu bahwa ibu sangat terluka dengan sikapmu akhir-akhir ini?” kata ayah lembut. “Bukan ini yang kami harapkan darimu, Sayang. Dengan menjelaskan semua ini padamu, ayah dan ibu agar kau mengerti dan tidak menyangka kami berbohong padamu. Ayah terutama ibu mengharapkan kau tumbuh sebagaimana Gilly yang cerdas dan selalu ceria dimanapun walau kami bercerai. Perceraian bukan berarti harus menjadikanmu anak yang broken home. Lihat ibu. Wanita itu tetaplah ibumu meskipun kami sudah bercerai. Ibu sudah bersusah payah melahirkanmu dan menjagamu hingga sebesar ini. Kau tidak boleh membenci ibu hanya karena perceraian ini. Setelah ini, temui ibu. Minta maaf padanya atas kesalahan yang pernah kau lakukan. Kau mengerti kan, Gilly?” kata ayah.

“Tapi aku tidak membenci ibu, aku hanya benci ayah!” seruku sambil berdiri dari kursiku.

“Kau membenci ayah karena semua ini? Kalau menurutmu ayah yang salah, ayah minta maaf padamu, Sayang. Ayah tidak pernah menyangka kau seterluka ini.”

“Aku benci ayah! Ayah tidak pernah mengerti perasaanku. Ayah pikir luka ini akan hilang begitu saja dengan ucapan maaf ayah?!” kataku dengan nada tinggi. Aku meluapkan emosiku saat itu juga dan membiarkan semua yang kupendam selama ini kuungkapkan.

Kukira ayah akan marah. Namun ayah diam sambil menungguku selesai mengungkapkan perasaanku. Ayah bahkan tersenyum padaku. “Kemari, Sayang. Peluk ayah, Nak,” kata ayah lembut. Aku menolak dan mundur beberapa langkah dari ayah. “baiklah. Kalau Gilly belum mau, ayah yang akan menghampiri Gilly,” kata ayah sambil menghampiri dan memelukku erat. 

Aku tidak bisa menahan tangisku saat itu. “Aku benci ayah!” kataku berulang kali di tengah isakanku.

“Kau boleh membenci ayah, Sayang. Tapi ayah tidak akan pernah membencimu. Kau adalah anak perempuan ayah,” kata ayah sambil mengelus rambutku. Tangisku semakin pecah. Kubenamkan wajahku dalam pelukan ayah dan menangis sejadi-jadinya. Beberapa saat kemudian tangisku reda. Perasaanku mulai tenang. 

“Aku minta maaf, ayah.” ucapku dengan isak yang mulai mereda.

“Ayah juga minta maaf karena belum bisa menjadi ayah yang sempurna bagimu,” balas ayah.

Hari merangkak senja. Dan senja itu menjadi senja yang berkesan untukku dan ayah. Kugandeng tangan ayah menuju mobil  dan aku mulai bisa menerima kenyataan bahwa ayah dan ibuku sudah bercerai. Aku juga mulai menghilangkan pandangan negatif dan kebencianku pada ibu, terutama ayah. Benar. Sudah seyogynya perceraian tidak menjadikan hubungan antara orangtua dan anak retak.

Komentar

  1. Perceraian memang menjadi salah satu hal yang sangat tidak mengenakkan bagi semua anggota keluarga termasuk anak-anak.

    Perlu sikap yang bijak sekali bagi ayah dan ibu dalam memberikan porsi kasih sayang yang tidak berubah baik sebelum terjadi perceraian maupun setelah bercerai.

    Dalam kisah ini, Baik ayah maupun Ibu Gilly terlihat sudah sangat proporsional sekali. Bahkan keluarga diluar keluarga inti seperti nenek dan Tante yang memiliki sikap yang cukup bijak bahkan pada ibu yang telah bercerai dari Ayah.

    Akan tetapi, memang sebaiknya anak tau kondisi inti di rumah bukan dari orang lain ya. Tapi dari ayah dan ibu sendiri lewat pembicara yang Ahsan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebaiknya memang begitu. Maksudnya, perceraian sebaiknya ayah dan ibu yang menceritakan langsung.
      Tapi di sini kondisinya anaknya keknya masih kecil pas perceraian terjadi.
      Tapi apapun itu perpisahan dengan orang yang dicintai (ayah, ibu, anak, dan lainnya) memang bikin sedih maksimal...

      Hapus
  2. Good story ya ponakan. udah bisa nulis panjang kayak gini.. Semangat terus nulisnya

    BalasHapus
  3. Ka yumna MasyaAllah sudah bisa jadi novelis, kalau mau pinjam Buku-buku novel remaja tante una boleh lohhh biar makin makin tulisannya,
    Goodjob 😍

    BalasHapus
  4. Ma syaa Allah keren Yumna tulisannya 😊 suka dengan alur ceritanya. Semoga jadi novelis ya

    BalasHapus
  5. Yumna, masyaAllah tabarakallah. allahumma baarik fiihi. semoga Yumna selalu membuat tulisan2 yg bermanfaat dan sebagus ini masyaAllah.

    BalasHapus
  6. MasyaAllah.. Yumna si sholeha udah bisa bikin novel nih. Ceritanya bagus, ada pesan baik yang bisa diambil pembaca dari cerita perceraian yang punya stigma negatif terlebih bagi anak. Barakallah kak yumna. Semoga bisa terbitkan novel kelak yaa

    BalasHapus
  7. Keren euy. Semangat menulis fiksi ya kak. Alurnya juga lumayan membawa pembaca ke cerita. Semoga bisa segera terbitkan novel. Semangattt

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Haru di Hari Sabtu

Pentingnya Mengedukasi Remaja Tentang Kesehatan Mental

Teori Big Bang dan Kebenaran Al-Qur'an