My Sister My Bestie

 
https://duniavinca.blogspot.com

Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Adik keduaku perempuan, namanya Lilian. Dia lebih muda empat tahun dariku. Yang ketiga laki – laki, namanya Roy. Dia masih berusia satu tahun setengah. Dengan adik keduaku itulah aku sering bermasalah. Orang – orang selalu mengatakan aku dan adikku tidak pernah bertengkar dan selalu rukun. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya.

Aku dan adik perempuanku yang sangat menyebalkan itu selalu bertengkar setiap hari, hingga bahkan kedua orangtua kami sampai bosan karena terus – terusan mengingatkan dan memarahi kami. Saking seringnya kami bertengkar, orangtua kami selalu mewanti – wanti kami untuk tidak membuat kegaduhan saat kami sedang berpergian di luar rumah. Meski begitu, kerap kali kami kena marah oleh orangtua kami karena bertengkar saat sedang berpergian di tempat umum.

“Masalah sepele jangan dibuat jadi besar. Selesaikan dengan baik tanpa marah – marah dan darah tinggi,” begitu orang tua kami selalu berkata.

Huh!!

Menurutku perkara antara aku dan adikku tidak sepele. Bayangkan saja, dia selalu mengambil barang – barang milikku tanpa izin, selalu memprotes setiap kali aku membuat aturan, membangkang setiap perintahku, mengadu pada orang tua kami saat aku tidak mau membantunya, dan banyak lagi.

Adik macam apa itu! Rutukku dalam hati.
Suatu hari aku membuat aturan baru di kamarku, bahwa selama aku pergi kerja maka adik perempuanku itu yang harus membersihkan kamar kami. Dan saat cuti kerja dan libur nasional maka aku yang mengambil alih membersihkan kamar.

“Deal!” kata adikku sepakat saat aku membuat aturan itu di kertas. Aku dan adikku itu bahkan juga saling menandatangani aturan perjanjian itu dan menempelnya di dinding kamar agar kami selalu ingat.

Namun ada apa ini? Saat pulang ke rumah, aku melihat kamarku tak ubahnya bagaikan kapal pecah. Koleksi buku – bukuku berantakan di lantai kamar dan di tempat tidur, air minum di kamarku tumpah ke tempat tidur, bantal dan gulingku berserakan, sprei tidurku terbuka, dan banyak lagi.

“Lilian!!” teriakku memanggil namanya. Darahku seakan mendidih saat itu.
Aku sudah sangat tidak sabar ingin menghajarnya hingga babak belur. Bagaimana mungkin dia yang seharusnya membersihkan kamar malah membuat kamar menjadi sangat berantakan seperti ini. Padahal sebelum pergi tadi aku sempat membantunya membersihkan kamarku sedikit.

Langkah kakiku serasa menggetarkan tanah tempatku berpijak. Aku menghentakkan kakiku mencari si Lilian kurang ajar itu. Kulihat ia dengan santainya sedang menyisir dan mendandani wajahnya di kamar ibu. Ia sedang memakai earphone untuk mendengarkan musik kesayangannya dari ponsel.

“Lilian!” teriakku sekali lagi sambil menggoyangkan bahunya.

Lilian tampak kaget. Ia melepaskan earphone – nya dan menatapku kesal. “Kakak ini apa – apaan sih! Masuk sembarangan, marah – marah!” cetusnya kesal.

“Kenapa kamu nggak nepatin janjimu? Siapa yang buat kamarku berserak, hah! Bukannya aku nyuruh kamu untuk bersihkan kamar? Kenapa tidak kamu bersihkan, malah kamarku tambah kotor.” Kataku marah – marah.

“Bukan aku yang kotorin kok. Itu tadi perbuatan Roy. Salahin aja dia, kok jadi aku,” katanya santai balik memarahiku.

Aku membelalakkan mataku dan melototinya. “Jadi apa aja tugasmu di rumah? Kenapa kamu tidak membersihkan kamar?” balasku.

“Aku capek,” jawabnya santai tanpa rasa bersalah sama sekali karena tidak menjalankan amanah dan kesepakatan kami. Aku geram sekali mendengarnya. Kutahan tanganku untuk tidak melakukan kekerasan fisik padanya. Namun melihat ia yang biasa saja dan tetap melanjutkan dandanannya membuatku tidak sabaran.

Baru saja aku hendak mengepalkan tanganku, ayah datang. “Ada apa ini? Kok ribut – ribut, hah? Apa nggak malu kalian didengar tetangga?!” kata ayah marah.

“Ini yah, kak Hannah pulang malah marah – marah sama aku,” adu Lilian santai.
Aku mengertakkan gigiku saking geramnya. Kupeloloti dia, namun Lilian terlihat santai. Ayah kini menatapku. “Benar apa yang dikatakan Lilian itu, Hannah?” tanya ayah meminta kesaksianku.

“Enggak yah. Tadi itu gara – gara si Lilian nggak mau bersohkan kamar. Kan hari ini jadwal dia, kenapa dia nggak mau beresin. Malah santai – santai disini,” kataku.

“Enak aja kak Hannah cuma membersihkan kamar saat hari libur. Curang kali!” protes Lilian menyela.

“Curang katamu? Kamu kok yang udah setuju dengan kesepakatan kita!” balasku tak mau kalah.

“Sudah, sudah. Kok kalian malah makin bertengkar di depan ayah,” kata ayah tegas dengan suara baritonnya yang khas. Kalau ayah sudah marah dan bicara, kami tidak ada yang berani membantahnya. Aku dan Lilian sama – sama diam sambil saling nyengir dan mengejek. “Sekarang kalian selesaikan masalah kalian dengan baik, jangan sambil marah – marah. Itu kan kamar kalian berdua, jadi kalian putuskan itu bagaimana caranya agar kamar kalian bisa bersih tanpa harus ribut – ribut seperti ini. Ayah nggak mau dengar lagi ya nanti kalau sampai kalian cekcok hanya gara – gara tugas,” kata ayah.

Dengan wajah masam, aku meninggalkan ayah dan Lilian menuju kamarku. Kuhentakkan kakiku. “Dasar adik kurang ajar!” umpatku marah. 

Akhirnya mau tidak mau aku membersihkan kamarku sendirian sementara Lilian melanjutkan urusan pribadinya. Ia tetap tidak mau membantuku meski ayah sudah menyuruhnya. Dia memang keras kepala!

Tiba-tiba aku teringat pesan ibu padaku tentang Lilian.

“Hannah, ibu mau mengatakan sesuatu padamu. Sebenarnya Lilian itu bukan adik kandungmu. Aku dan ayahmu mengadopsinya dari sebuah keluarga tidak mampu yang sekarang sudah meninggal. Karena itu kau harus menyayanginya. Ibu rasa, saat ini belum waktunya dia tahu..”

Kata – kata ibu terekam di benakku. Ibu memintaku untuk merahasiakannya sementara waktu dari Lilian dan tetap memperlakukannya dengan baik layaknya adik kandungku sendiri. Namun mengingat sikap Lilian yang kurang ajar dan menyebalkan, aku rasanya sudah tidak tahan dan ingin menyuruhnya pergi dari kehidupanku.

“Ibu, aku tidak tahan lagi! Aku sudah tidak mau tinggal satu atap dengan Lilian. Aku ingin ibu membawanya ke panti asuhan saja!” kataku pada ibu suatu malam.

“Ibu capek mendengar pertengkaran kalian antara kamu dan Lilian. Kalian tidak bisa berdamai dan bersaudara satu sama lain. Apa ada masalah lagi diantara kamu dan Lilian?” tanya ibu kemudian.

Aku mengangguk. “Ibu kan bisa memasukkannya ke panti asuhan saja. Untuk apa mengadopsi anak seperti Lilian? Aku tidak suka Lilian, ibu. Dia sangat keras kepala dan suka membangkang. Aku tidak mau orang seperti itu menjadi saudaraku,” kataku menyampaikan keluh kesahku terhadap Lilian kepada ibu.

“Maaf sayang, untuk saat ini tidak bisa. Dulu, kedua orangtuanya Lilian telah menitipkan bayi mereka kepada ibu untuk dirawat sebaik mungkin hingga dia besar. Lilian masih terlalu muda dan belum mandiri untuk tinggal tanpa asuhan orangtua..” kata ibu berusaha memberikan penjelasan padaku.

“Jadi intinya ibu tidak bisa memenuhi permintaanku?” tanyaku to the point.

Ibu mengangguk. “Iya sayang. Masih ada beberapa tahun lagi yang harus dilewati hingga Lilian dewasa,” tambah ibu.

Aku keluar dari kamar ibu dengan sangat kecewa. “Ini sangat tidak membantu,” pikirku. Memikirkan bahwa masih ada belasan tahun lagi yang harus kulalui bersama Lilian membuat pikiranku terasa capek.

Suatu hari ayahku sedang berada di kantornya dan ibuku sedang pergi bersama Roy untuk suatu urusan. Aku baru saja pulang dan melihat Lilian tampak sedang berjongkok di sudut ruang tamu sambil menyembunyikan sesuatu dengan tangannya. Ia tidak menyadari kehadiranku sama sekali karena sibuk menutupi sesuatu. Aku penasaran dan mendekat ke arahnya.

“Apa yang kau lakukan!” pekikku kaget saat melihat dia sedang menyembunyikan pecahan kaca wadah tempat sirup kesayangan ibu turunan dari buyutnya.

“Aku tadi hendak membuat sirup dan tidak sengaja memecahkannya,” lirihnya pelan, terdengar ketakutan.

Aku iba melihatnya. “Kau harus segera membersihkannya, setelah ibu akui kesalahanmu pada ibu. Biar aku bantu. Ambilkan sapu, pengki, dan plastik untukku.” Titahku. Dia mengangguk pelan sambil terus ketakutan.

Malangnya, Lilian kelamaan mengambil sapu, pengki, dan plastik yang kusuruh. Ibu pulang ke rumah sambil menggendong Roy. Giliran aku yang pucat. Lilian masih belum juga kembali dari dapur. Sepertinya ia melarikan diri ke kamar saat mendengar suara ibu pulang. Setelah mengucap salam, ibu melihatku berjongkok di sudut ruangan dan menyembunyikan sesuatu. Ia menghampirirku dan melihat apa yang terjadi. Dia tampak berang saat melihat wadah sirupnya pecah.

“Apa yang kau lakukan Hannah?!” katanya dengan nada tinggi sambil menatapku dengan kilatan matanya yang membara. “Kenapa kau kerjamu sembrono kali sampai ini pecah?” katanya marah masih dengan nada yang sama.

 Ia bahkan tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Lalu ibu meninggalkanku sendirian setelah puas memarahi dan menceramahiku panjang.

Aku benci hal itu. Tiga kesalahan yang ibu lakukan dalam satu waktu. Mengambil keputusan tanpa pikir panjang, tidak memberiku kesempatan untuk menjelaskan dan mendengar penjelasanku, dan memarahiku panjang lebar.

Dengan kesal, aku mengambil sapu, pengki, dan plastik yang ternyata bekum diambil Lilian. Ia menyelamatkan diri di kamar. Usai aku membersihkan pecahan – pecahan kaca itu, aku pergi ke kamarku. Disana aku melihat Lilian menatapku takut. Aku membuang wajah. Aku sudah tidak akan mau peduli lagi terhadapnya. Tanpa disangka, ia memelukku.

“Kak Hannah, aku minta maaf..” katanya tulus.

Aku terenyuh. Kuelus kepalanya. “Kurasa itulah gunanya seorang sahabat. Dia akan menemanimu dan bersedia menggantikanmu disaat kau sedang membutuhkan pertolongan,” balasku.

Ia mengangguk. “Kita sahabatan sekarang?” tanyanya memastikan.

Aku terdiam sebentar dan berpikir, lalu kemudian aku mengangguk. “Ya, mulai sekarang kita sahabat,” kataku sedikit tersenyum. 

Yaah sepertinya aku harus sedikit melupakan kejadian tidak mengenakkan yang baru saja terjadi.

Mulai saat itu aku dan Lilian mulai jarang bertengkar seperti dulu lagi ataupun mempermasalahkan hal hal kecil yang terjadi. Karena melihat kedekatan kami, kedua orangtuaku bahkan menyediakan waktu untuk aku dan Lilian keluar rumah berdua. Di waktu itu aku dan Lilian kadang pergi ke toko buku, ataupun pusat keramaian lainnya. Kami bercerita tentang banyak hal tentang keadaan di sekolah, ataupun kejadian-kejadian yang tidak dapat kami saksikan berdua.

Suatu hari aku dan Lilian pergi ke mall berdua. Kami membeli banyak barang di sana berbekal uang tabungan dan uang jajan dari kedua orang tua kami. Kami membeli barang-barang yang sama untuk dipakai sehari-hari seperti aksesoris dan pakaian. Aku tidak sadar kalau selama ini Lilian diam-diam memperhatikan ku, dari semenjak kami resmi bersahabat dan memutuskan pertengkaran.

Saat di mall dia berkata padaku, “Kak Hannah, terima kasih..” lirihnya sambil menatap mataku. Ia terlihat sangat polos saat itu.

Aku tertegun.

“Terima kasih untuk apa?” kataku balik bertanya.

“Kau sudah mau menerimaku sebagai adikmu dan bahkan sahabatmu, walaupun kita sebenarnya bukan saudara kandung.” Jawab Lilian.

Aku terkejut mendengar nya. “Jadi kau sudah tahu kalau kita bukan saudara kandung?” tanyaku memastikan.
Lilian mengangguk. 

“Aku diam-diam menguping pembicaraanmu dan ibu saat kau marah padaku dan meminta pada ibu untuk memasukkan ku ke panti asuhan. Saat itu aku merasa sangat takut membayangkan berpisah dari ayah dan ibu angkatku yang selama ini telah merawatku dengan baik, dan harus berbaur dengan anak-anak yatim lainnya. Aku masih ingin mendapat kasih sayang layaknya anak yang masih memiliki orang tua utuh. Tapi aku bersyukur karena kau membatalkan niatmu itu. Aku tahu mungkin bagimu aku adik yang sangat menjengkelkan dan banyak membuat kesalahan padamu, karena aku juga merasakan hal yang sama padamu. Terima kasih kak Hannah, tanpamu mungkin aku tidak akan mempunyai sahabat sejati yang tidak akan kudapatkan dari orang lain selainmu..” kata Lilian mulai berlinang air mata.

Aku terenyuh dan memeluk tubuh Lilian erat. “Aku juga berterimakasih padamu Lilian, karena kau mau menjadi temanku. Kita akan tetap menjadi sahabat selamanya.”

Komentar

  1. Lilian itu kenapa mengingatkan pada anak yang bermulut lancip itu ya yumna 🤣
    Tukang santuy dan selalu ada aja jawaban. Btw Anak itu udah bisa jadi bestie mu belum?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha iya ty🤣🤣
      Memang sekilas dibuat mirip gambaran sifatnya

      Hapus
    2. Bestie, tapi dia nggak nganggap kekgitu. Lebih Bestie an lagi dia sama anak aunty

      Hapus
    3. Hahah.. Terus cemburu lah ukhti nya tu. Anak itu emang suka moody gitu ya. Heran liatnya 🤣🤣

      Hapus
  2. endingnya,,,,,ehmm....berantem tapi sayang

    BalasHapus
  3. Waah ending-nya manis yaa ... Hannah anak yang sangat aik. Lilian juga anak baik. Mereka pasti akan bersahabat selamanya. :)

    BalasHapus
  4. Aduh sedih berakhir bahagia ya. Kekompakan mereka setelah saling tahu status masing masing pasti bakal lebih erat

    BalasHapus
  5. Happily ever after. Walaupun agak nyesek juga sih baca endingnya. Banyak yang ingin kuutarakan di sini. Tapi, ya sudahlah (Zen)

    BalasHapus
  6. Betul itu berantem tapi sayang, saya pun seperti itu sama saudara prempuan saya, tapi karna kita sedarah ya kita tetap besti hehehehhe

    BalasHapus
  7. Ini kisah pribadi atau cerpen kah? kalau kisah pribadi kok seperti baca cerpen soalnya.. pandai sekali membuat alur cerita ini menjadi menarik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kayaknya dua-duanya ya🤔 karena juga ada yang berdasarkan pengalaman pribadi sih, hehe

      Hapus
  8. I feel si hannah's feel hehe
    Saudara perempuan itu emang sering nyebelin.
    Tapi kalo ada apa apa, ya lebih sreg minta bantu ke saudara perempuan sendiri

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha, bener by
      Ngeselin tapi juga ngangenin 😆

      Hapus
    2. Sama kayak mereka berdua itu.
      Udah bagi bagi tugas padahal, tapi beliaw sering mangkir.
      Dan terjadilah perang dingin

      Hapus
    3. Haha iya
      Sering banget kejadian 😆

      Hapus
  9. Mantap-mantap, dapat nih pesannya. Gas-gas, udah bisa nih jadi cerpenis. Selamat berkarya dengan karya-karya lainnya yang menginspirasi dan mencerahkan

    BalasHapus
  10. Ini kisah nyata atau fiksi? Kayaknya beneran deh tapi kok serasa cerpen ya? Hehe

    BalasHapus
  11. Ini runut banget..suka dengan pesan moralnya, ending-nya bahagia. My Sister My Bestie. Keren!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waah😍😍
      Makasih banyak pujian nya ibu
      Semoga bermanfaat dan bisa lebih baik lagi

      Hapus
  12. Wah seru banget mbak ceritanya aku sampai larut bacanya. Kasian banget Lilian ya. Mungkin karakternya bukan ngeselin tapi usil ya. Tapi, setelah tahu faktanya, dia jadi anak yg baik 🥺

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya juga sih..
      Si adik berkarakter usil satu rumah dengan si kakak yang terlalu perfeksionis.

      Hapus
  13. Kukira ini cerita penulis dg adiknya. Ternyata cerita karangan ya??? Larut bacanya kayak kisah sendiri

    BalasHapus
  14. kisah nyatakah? kok berasa kisah nyata ya, bagus ceritanya, saya kira endingnya ga rukun, ternyata jadi rukun ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau nggak rukun takutnya kebawa pas dewasa nanti..
      Hobinya berantem mulu, ntar di julidin tetangga 🤭

      Hapus
  15. Woww sungguh endingnya mak tratap di hati.. Good job hannah, terima kasih sudah menjadi kakak dan sahabat yang baik.. :")

    Lanjutkan ceritanya kak.. Mantaap! Semangat berkarya...

    BalasHapus
  16. Alhamdulillah akhirnya bisa akur emang tidak mudah apalagi usia tdk begitu jauh bedanya.

    Cekcok antar saudara kandung aja sering terhadi apalg bukan sodara hidup sekamar. (Gusti yeni)

    BalasHapus
  17. seru juga ya kalau punya adik perempuan.
    Di realitanya memang kebanyakan sering berantem juga wkwkwk.
    Tapi ujung-ujungnya saling memperhatikan dan sayang juga

    BalasHapus
  18. wkwkwkw ini kok kayak ingetin aku sama adik perempuanku, hahaha skrg aja rukun, dulunya ampun ampunan ngga pernah rukun, bahkan aku nggamau diikuti sama adekku kalo dia mau ikut main hahaa

    BalasHapus
  19. Love n hate antara saudara perempuan itu dari zaman dahulu sampai sekarang akan selalu ada. Hal sepele jadi besar. Hehehe. Cuma kalau diterusin sampai besar dan dah pada bentuk keluarga sendiri-sendiri takutnya kebawa-bawa sih.

    Salut yaaa sama Kak Hannah di cerita ini. Sabaaaar banget.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah iya, sabarnya setipis tisu mungkin ya🤭

      Hapus
  20. Walau bukan saudara kandung, karena besar dari kecil tetap menjadi saudara walau sering bertengkar. Dan, semakin dewasa biasanya kedua adik-kakak bisa saling memahami, malah menjadi bestie yang saling mendukung.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Haru di Hari Sabtu

Pentingnya Mengedukasi Remaja Tentang Kesehatan Mental

Teori Big Bang dan Kebenaran Al-Qur'an