Suara Yang Tertahan

https://duniavinca.blogspot.com



 Tahun ini RA di tempat aku magang kekurangan kelas karena ada anak – anak dibawah umur kelas TK yang ikut mendaftar. Faktor lainnya karena ketidakseimbangan jumlah murid pendaftar untuk TK B. Akibatnya ada salah satu kelas yang memiliki dua tingkatan. Yaitu kelasku dan seorang rekan kerjaku. Dikarenakan muridnya yang sedikit, di kelas itu ditempatkan aku dan anak – anak usia tiga tahunan dengan kondisi keterlambatan bicara dan masalah lainnya.
Di tempatku mengajar, tidak sedikit anak – anak yang sering curhat tentang masalah mereka denganku. Aku tidak tahu kenapa. Entah karena hanya kebetulan, mereka memang suka bercerita kepada siapa saja, atau karena aku satu – satunya guru disana yang lebih terlihat berbeda dari guru – guru yang lain karena bersedia ikut dalam beberapa permainan mereka. Contohnya saja seperti sepak bola, dan masak – masakan ( ini kulakukan sambil menemani anak muridku yang khusus speech delay dan masih berumur tiga tahun kurang sambil terus mengajak mereka berbicara ).
Biasanya mereka akan curhat secara privat. Yaitu mendatangiku saat aku sedang sendiri ataupun saat kebetulan aku bersama mereka tanpa sepengetahuan guru mereka. Tahun ini aku mendapatkan anak – anak yang lebih luar biasa dan kritis dari tahun – tahun sebelumnya. Mereka suka menceritakan dan mengkritik perlakuan orang – orang dewasa, dan orang tua mereka yang dinilai kurang baik menurut sudut pandang mereka. Meskipun masih kecil, aku akui pengamatan mereka sangat tajam dan mereka memang benar.
Kyara ( bukan nama sebenarnya ), adalah salah satu anak murid perempuanku yang terkenal pendiam namun mudah diajak untuk bersosialisasi, sering curhat denganku menceritakan tentang kondisi di rumahnya. Curhatannya kadang tidak sesuai untuk anak seumurannya.
“Umi ( panggilan untuk guru RA ), ayah sering marah – marah di rumah sama Kyara..” katanya suatu hari memulai curhat.
“Oya? Wah, kenapa ayah memarahi Kyara, ya? Apa Kyara ada buat salah sama ayah?” tanyaku menanggapi ceritanya.
Ia menggeleng. “Ayah tadi juga ada marahi Mamak di depan Kyara,” katanya menambahkan.
“Kenapa?”
“Karena Kyara pergi sama Mamak ke rumah nenek ( ibu dari mamaknya Kyara ). Adik juga ikut. Kami naik becak karena ayah nggak mau nganter. Tapi pas pulang ayah marah – marah. Ini gara – gara nenek ( ibu dari ayah Kyara ) bilang ke ayah, Mamak mau ngajak Kyara pergi nemuin pacarnya. Padahal mamak nggak punya pacar..” ceritanya panjang lebar. Aku masih mendengarkan ceritanya.
Aku kira hari ini ia akan curhat seperti biasa, namun nyatanya tidak. “Tadi ayah juga ada mukul Kyara,” lanjutnya dengan suara serak yang tertahan. Mata beningnya mulai berlinang. Meski begitu, ekspresinya tampak biasa saja. Seolah hendak menutupi perasaan dan emosinya yang hendak diluapkannya.
Aku memeluknya dan mengelusnya. “Mana yang dipukul ayah?” tanyaku pelan.
“Ini,” ia menunjuk tangan dan kakinya. Aku memeriksanya. Merah. Aku mengambil minyak balur milikku yang sengaja kubawa dari rumah untuk berjaga – jaga dan mengoleskannya di bagian yang ditunjuk Kyara.
“Ada lagi?” tanyaku. Ia menggeleng.
“Kyara nggak suka ayah marah – marah,” katanya dengan nada tidak suka.
“Kalau ayah marah – marah, Kyara bilang sama ayah ‘Ayah janganlah marah – marah. Kan ada hadits nya, jangan marah bagimu surga’. Okey?” kataku tersenyum simpul ke arahnya. Ia mengangguk.
Untuk curatan anak – anak seperti Kyara, tak jarang aku terkadang juga konsultasi terhadap rekan kerjaku maupun orang yang lebih tahu dariku tentang bagaimana cara menghadapi anak – anak dibawah umur yang curhat tentang perkara orang dewasa yang sejatinya tidak untuk dikonsumsi seumuran mereka.
Aku teringat cerita atasan kami kalau ibunya Kyara pernah curhat sekali tentang masalah rumah tangganya. Ibu mertuanya tidak menyukai menyukai ibu Kyara dan sering mengadu domba antara ayah dan ibu Kyara. Banyak lagi masalah yang terjadi antara ibu Kyara dan mertuanya.
Padahal kalau dilihat sekilas, ibunya Kyara tampak biasa saja. Ia sering tersenyum dan juga memiliki sikap dan hubungan yang baik dengan guru – guru, orang tua / wali murid, juga kepala sekolah. Ibunya Kyara juga termasuk ibu yang rajin. Setiap hari, hanya Kyara dan seorang teman laki – lakinya yang konsisten membawa bekal makanan dari rumah. Entah itu nugget dengan berbagai bentuk yang berbeda setiap harinya, mie gomak, dsb.
Sejatinya, konflik yang terjadi diantara pasangan suami istri atau pihak ketiga lainnya tidak seharusnya dilakukan di depan anak – anak. Karena mereka secara sadar ataupun tidak akan merekam apa yang mereka lihat sehari – hari di lingkungan terdekatnya. Hal ini juga bisa membentuk karakter seorang anak.
Ketika ia melihat banyak kekerasan yang terjadi di sekitarnya, ia akan menganggap hal itu wajar dan akan mencoba melakukannya kepada orang dibawah dan terdekatnya. Seperti adiknya, tetangganya, ataupun teman – temannya. Tidak bisa menutup kemungkinan bahwa korban juga akan bisa melakukan hal yang sama dengan pelaku. Lama kelamaan perlakuan buruk akan menyebar di lingkungan masyarakat dan menjadikan terbentuknya circle negatif.
Lanjut part dua ya..


Komentar

  1. bagus tuh anak bisa bercerita seperti itu .. biasanya anak cenderung pendiam kalo d perlakukan secara kasat. Kepo part 2 nya🥰

    BalasHapus
  2. Anak kecil seperti Kyara saja sudah tahu masalah orang dewasa. Kasihan bisa mengganggu tumbuh kembangnya dan masa kecil jadi kurang bahagia

    BalasHapus
  3. Prihatin dgn anak² seperti Kayra. Seharusnya seusia mereka lebih banyak keceriaan ya. Tugas guru berat juga ya klo ada anak curhat seperti itu

    BalasHapus
  4. Ah senangnya bertemu dengan Ibu guru yang tidak menghakimi, pendengar yang baik, dan paham cara berkomunikasi dengan anak-anak.

    BalasHapus
  5. Akses informasi yg terbuka membuat anak yg masih kecil jd tau bahasa2 atau masalah orang dewasa, bagus gurunya bisa menjadi pendengar yg baik otomatis bisa menjadi teman diskusi yg positif (gustinyeni)

    BalasHapus
  6. Klo aku jadi guru Kyara mungkin sudah sedih banget menanggapi curhatnya. Salut dengan Mbak yang tetap tenang dan bisa memberi motivasi untuk anak-anak. 🤗

    BalasHapus
  7. Dulu ada keluarga yg sering berantem di depan anaknya. Anaknya jadi pendiem banget, kemungkinan trauma bikin kesalahan bisa dimarahin 😢

    BalasHapus
  8. Kyara...
    Mhh serba salah kwko seumur kamu diajak konflik orang dewasa ya.
    Lagian ayahnya juga gak bener. Main pukul aja tanpa tanya dulu. Cuma berdasarkan mulut toxic ibu nya yang gak suka sama menantunya. *mulai deh julid

    BalasHapus
  9. Berantem depan anak tidak bisa kita anggap sepele karena mental anak dapat terganggu dan bisa jadi meniru apa yang kita buat dan buat orang tua jangan ringan tangan dalam mendidik anak karena itu dapat membuat anak jadi takut dan pendiam bisa2 anak tidak terbuka kepada orang tua. dan anak kecil seperti Kyara saja sudah tahu masalah orang dewasa untuk umur segitu seharusnya sedang asiknya bermain dan belajar.

    BalasHapus
  10. Mantap ni punya ibu guru yg mau mendengarkan curhatan murid nya, tapi kasian ya kyara masih tk udah mengalami nya, seumuran kyara seharus nya banyak main bukan banyak masalah

    BalasHapus
  11. Aku belum ngerasain gimana berumah tangga, mungkin tantangannya berat bagi sebagian orang. Kadang aku banyak ambil pelajaran dari yg udah berumah tangga. Tentunya baik jadi referensi yang nggak baik jadiin pembelajaran

    BalasHapus
  12. Sedih kali la baca cerita ini. Tekanan psikologis pada anak memang akan berdampak pada tumbuh kembang anak. Terus semangat ya kak jadi teman curhatnya Kyara. Pengen dengar kelanjutan kisahnya.

    BalasHapus
  13. Yumna, ini cerita beneran ya...
    Kyara, bisa dewasa seblum waktunya.
    Tapi bagus juga, kyara mau cerita dan yumna mau dengerin.
    Seringnya si anak gak mau cerita, dipendam sendiri, mungkin takut atau malu. Jadi pas dewasa bermasalah lah inner childnya

    BalasHapus
  14. Jadi keingat sama film Noktah Merah, yang mungkin orang tua ga pernah sadari amarah mereka di depan anak bisa berdampak buruk kedepannya. Yang dimengerti dan diperbesar hanya ego, dan keluarga di kesampingkan, smeoga saja itu yg terakhir bagi kyara karena perjalanan ia masih panjang.

    BalasHapus
  15. Karakter anak cerdas ya, bisa mendeskripsikan perasaan hatinya. Jadi emosinya bisa tersalurkan

    BalasHapus
  16. Gimana cara yumna mengelola emosi saat berhadapan dengan curhatan anak anak itu?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, suka sekali dengan pertanyaan Bu İka😍
      Ada banyak cara yang Yumna pakai untuk mengelola emosi Yumna saat mendengarkan curhatan anak murid seperti cerita tadi. Karena sejujurnya Yumna sendiri tidak yakin apakah sikap Yumna sudah tepat atau belum.
      Karena sering mendengar curhatan seperti itu dari mana saja, tidak hanya dari anak murid, saat mereka curhat, Yumna tidak terlalu menampakan kecondongan wajah terhadap salah satu emosi. Misalnya kaget, atau sedih. Lebih sering tenang mendengarkan curhatannya sambil mencari jawaban yang tepat dan mudah diterima untuk anak seumuran mereka. Lalu biasanya Yumna dan si murid sama-sama mencari penyelesaian untuk masalah yang dia ceritakan 😊

      Hapus
  17. Bagus ya pembelajarannya, seusia Yumna udah magang aja jadi pengajar di RA. Bisa jadi tempat menampung curhat anak-anak TK adalah suatu kepercayaan ya. Semangat terus ya Yumna.

    BalasHapus
  18. MasyaAllah Yumna.. bisa menghadapi curhatan anak seusia itu dengan sikap yang dipahami sang anak itu udah hebat banget lho. Kalo dapet orang lain mungkin udah menggebu-gebu menanggapinya dengan emosi yang sulit dikendalikan. Semoga bisa jadi pembelajaran buat pembaca tulisan ini kalo kisruhnya rumah tangga pasti akan berpengaruh pada anak.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Haru di Hari Sabtu

Pentingnya Mengedukasi Remaja Tentang Kesehatan Mental

Teori Big Bang dan Kebenaran Al-Qur'an