“Hei Mida, apa kau tidak tertarik dengan minuman es jelly yang
baru saja dijual itu?” tanya Eni teman kelasku menawarkan.
“Aku tidak ada uang mau beli apa-apa En,” jawabku.
“Duuh, masa sih sepeserpun kamu tidak ada uang?” kata Eni
terlihat tidak percaya.
“Iya, aku serius.”
“Atau gini aja, hari ini aku traktirin kamu minum es jelly
itu, jika kamu tertarik kamu bisa menikmatinya lain waktu,” tawar Eni.
“Beneran?” tanyaku ragu. Eni mengangguk mantap dan langsung
menarik tanganku menuju kantin.
Meskipun bersekolah di SD negeri, kantin kami hanya
menyediakan jajanan yang dibuat sendiri tanpa adanya pemanis buatan, MSG dan
sejenisnya. Namun diantara semua jajanan homemade itu, aku belum pernah
merasakan satupun makanan yang dijual di kantin itu dikarenakan ibuku hanya
membawakan bekal dari rumah tanpa pernah memberiku uang saku. Dan aku senang
sekali hari ini Eni mengajakku mencoba salah satu minuman yang sempat membuatku
tergiur melihatnya. Aku dan Eni duduk di salah satu bangku kantin dan mulai
meminum minuman yang es jelly yang dibeli Eni. Sambil memakan hamburger yang
baru di saja di belinya, melirik-lirik bekal makananku.
“Maaf ya Mid, bukan bermaksud mengejek tapi aku hanya ingin
tahu saja. Apa kamu tidak bosan hanya memakan bakal nasi dan ikan asin tiga
potong?” tanya Mida hati-hati.
Aku tertegun. Sejauh ini belum pernah ada yang menanyakan
pertanyaan itu kepadaku. Entah karena mereka tidak terlalu memperhatikanku atau
karena aku yang tidak terlalu mempedulikan mereka. “Uang kami tidak cukup untuk
membeli makanan yang lebih mahal. Menurutku jika kita bisa makan saja sudah
lebih bagus,” jawabku.
“Ooh,” kata Eni pelan. Ia terdiam sejenak, “eh menurutmu,
bagaimana rasa minumannya? Enak nggak?”
“Enak kok. Terimakasih ya untuk minuman gratisnya,” kataku
tersenyum. Minumannya memang teramat sangat enak. Aku belum pernah minum es
seperti ini.
“Ah nggak papa kok. Aku senang bisa berbagi denganmu.
Kapan-kapan aku ke rumahmu ya,” kata Eni.
“Jangan!” Tiba-tiba saja aku refleks mengatakan itu.
“Hah kenapa?” tanya Eni heran.
“Iya, nggak papa. Rumahku nggak sebagus rumahmu.”
“Ooh karena itu. Hahaha Mida..aku ke rumah kamu cuma pengen
silaturahim, bukan membandingkan rumah kamu dengan rumah aku,” tawa Eni. Aku
ikut terkekeh walaupun sebenarnya tetap saja aku tidak mau orang lain
mengetahui rumahku.
“Ibu, apakah ibu tahu? Di kantin sekolahku ada minuman yang
sangat enak lho bu,” kataku pada ibu dengan sangat antusias saat hendak
berangkat ke sekolah.
Ibu memandang wajahku lalu memalingkan wajahnya dari
pandanganku, “Terus?”
“Aku pengen beli Bu. Ibu ada uang kan?” tanyaku.
Ibu merogoh saku bajunya dan memperlihatkan dompetnya
padaku. “Nah, kamu lihat dompet ibu apakah ada uang yang ibu simpan di sini,”
katanya lembut namun tajam menusuk.
Aku langsung mengerti maksud ibu. Buru-buru sebelum ia
marah-marah dan mengomeliku, aku langsung minta maaf dan mencium punggung
tangannya. Setelah itu aku langsung pergi ke sekolah. aku tidak tahu mengapa
ibu selalu saja sensitif jika aku menyinggung masalah uang dan keinginanku.
Apakah karena setiap yang kuinginkan itu memerlukan uang, sampai-sampai aku
mengira di dunia ini tidak ada yang tidak memerlukan uang selain cinta yang
tulus dan kasih sayang.
Kala itu aku sudah duduk di kelas bersama teman-temanku. Aku
masih memikirkan perkataan ibu pagi tadi. apakah penyebab ibu marah padaku
setiap menyinggung masalah uang adalah karena kami dari keluarga yang tidak
memiliki dompet tebal. Ah, apakah kemiskinan itu memang identik dengan
kesengsaraan? saking teringat nya dengan percakapan ibu tadi pagi aku sampai
tidak fokus pada pelajaran di kelas hari ini.
“Mida, kamu dipanggil kepala sekolah,” kata guruku saat jam
istirahat.
Walaupun kaget kenapa kau dipanggil kepala sekolah aku,
tetap mengangguk. “Baik Bu,” kataku.
Di ruangan kepala sekolah..
“Begini Mida, saya sudah berulangkali menghubungi orang tua
kamu terkait masalah biaya SPP kamu dan adik adik kamu yang belum dibayarkan
beberapa bulan ini. Bahkan walaupun saya sudah memberi keringanan pada nominal
uang pendaftaran sekolah semuanya masih belum dibayar oleh orang tua kamu. sebagai
anak tertua saya mohon agar kamu memberitahukan pada orang tua kamu mengenai
masalah biaya ini. Tolong kerjasamanya ya Mida,” kata kepala sekolah.
“Baik pak,” jawabku.
Sepulang sekolah aku langsung memberitahu ibu mengenai
perkataan bapak kepala sekolah. Wajah ibu terlihat sangat gusar. “Kita tidak ada
uang lagi Mida,” lirih ibu.
“Tapi bu, bagaimana jika bapak kepala sekolah memanggilku
lagi? Aku kan malu,” rajukku.
“Aduh Mida..kamu ini ngerti nggak sih, kita lagi tidak punya
uang. Kamu tahu nggak ayah kamu ini sedang tidak ada kerjaan!” cetus ibu marah.
Aku menatap wajah ibu dengan sangat kesal. Berbicara dengan
ibu selalu tidak menyenangkan. Ibu selalu saja marah-marah denganku walaupun
aku tidak sedang membicarakan masalah uang. Entah apa yang dipikirkan ibu
sehingga harus marah-marah seperti itu. akhirnya aku menemui ayah di teras
rumah dan menceritakan pembicaraanku dengan kepala sekolah.
“Sabarlah ya Mida. Saat ini ayah memang sedang tidak punya
uang, tapi ayah akan usahakan untuk mencari uang agar kamu bisa tetap sekolah
oke?” kata ayah optimis sambil mencium dan mengelus kepalaku.
“Iya ayah,” balasku.
Sudah beberapa hari ini ayahku tidak mendapat pekerjaan
untuk membiayai kebutuhan keluarga kecil kami. Hingga suatu sore, seorang teman
ayah menghubunginya untuk suatu pekerjaan mendesak yang memerlukan tenaganya
saat itu juga. Tanpa pikir panjang ayah langsung menyanggupi permintaan itu.
“Tidak makan dulu yah?” tawar ibu sambil menghidangkan
makanan di lantai ruang tamu.
“Nanti sajalah Bu,” kata ayah tampak buru-buru.
“Mau kemana sih sampai buru-buru gitu? Biasanya juga makan
dulu,” kata ibu.
“Ayah dapat kerjaan mengecat bu. Doain ya semoga ada rezeki
yang cukup untuk kebutuhan kita sekeluarga,” jawab ayah.
“Biar bagaimanapun makan dulu ayah, gimana nanti ayah
bekerjanya maksimal jika belum makan. Ibu suapin aja ya?” tawar ibu. Akhirnya
ayah menyerah pada tawaran ibu. Kemudian ayah menyelami dan mencium kami satu
persatu termasuk ibu. Ia pamit dan melambaikan tangannya pada kami, melangkahkan
kakinya menuju rezeki yang ingin dicapainya.
Ayah belum juga pulang sampai malam. aku begitu khawatir
karena sama sekali belum ada tanda-tanda mengenai kepulangannya. Hingga salah
satu pria dan wanita datang menggedor-gedor pintu rumah kami. Aku dan ibu pergi
menemui kedua orang tersebut.
“Bu, suami ibu tersengat listrik pas ngecet tiang reklame!!”
seru perempuan yang ditemani laki-laki itu.
“Hah? Yang benar pak, Bu?” tanya ibu.
“Iya.”
Wajah Ibu tampak lemas mendengar pengakuan bapak dan ibu itu.
Iya bahkan sampai terduduk bersandar pada pintu rumah kami yang hampir roboh. “Pergi
dan lihatlah keadaan ayahmu untuk terakhir kalinya. Ibu tidak sanggup keluar
lagi,” lirih ibu.
Aku mengangguk, “Baik Bu,” balasku.
Aku pergi ke lokasi kejadian. Betapa terkejutnya aku melihat
keadaan ayahku untuk terakhir kalinya. Tubuhnya terpanggang di atas tiang-tiang
listrik. Semua orang menyaksikan kejadian itu semua orang menyaksikan kejadian
mengenaskan tersebut. Diam-diam aku menangis melihat keadaan ayahku. Betapa
tragisnya. bahkan untuk terakhirnya aku tidak bisa memeluk tubuh ayahku
walaupun sudah tidak bernyawa lagi. Disaat orang lain masih bisa diberi
kesempatan untuk memeluk tubuh tidak bernyawa orang kesayangannya, untuk
menggapai tubuhnya saja pun aku sudah tidak bisa lagi. Ayah terima kasih untuk
pengorbanan yang kau berikan pada kami. meskipun kau bukan orang yang
melahirkan kami namun kau adalah orang yang turut membesarkan kami.
Seorang ayah tersengat listrik lalu sebagian tubuhnya
terbakar saat bekerja mengecat tiang Billboard. Aku begitu terenyuh merasakan
manakala putranya menanti kepulangan ayahnya bekerja tanpa nyawa. Namun siapa
sangka itulah yang terjadi pada ayahku.
Suka dengan tulisan Yumna 🙂 selalu ada pesan moralnya. Kalau boleh saran, alurnya dibuat lebih memancing penasaran 😁
BalasHapusTerimakasih sarannya om
HapusHiks.. Pagi-pagi baca ini jadi mellow. Apalagi si Cheryl lagi merajuk karena hari ini gak mau bawa bekal karena ikan sambal. You know kan, gak semua orang bisa makan ikan sambal. Bahkan anak orang india itu terlalu sering makan ikan asin tanpa mengeluh.
BalasHapusAlhamdulillah habis diingatkan sama keadaan anak india itu, dia langsung sadar kalo ikan sambalnya adalah impian si anak yang makan pake ikan asin..
Huhu,, sedih beud ceritanya, Yumna... begitulah jihad seorang ayah dalam memperjuangkan nafkah untuk keluarganya ya. Semoga kita semua mensyukuri kondisi yang telah Allah berikan pada kita saat ini. Aamiin.
BalasHapusTambah lebih banyak lagi kata supaya alurnya lebih membakar emosional, Na.
BalasHapusAnyway, good job
Memang itu yang kurang Bun.
HapusKurang pandai mengolah kata dan membuatnya ceritanya penuh emosi.
Tulisannya bagus banget ini.. Plot dan alurnya jelas. Suka sama tulisannya. Bisa jadi penulis novel nih. Ada pesan dalam tulisan.
BalasHapusTerimakasih banyak om Alfie 🥰
HapusMasyaAllah tulisan Yumna banyak perkembangan ya, selain tulis di blog, coba tes kirim ke media massa dek
BalasHapusBelum tahu caranya Bu Zee. Tapi terimakasih buat masukannya.
Hapus